Kategori Sosial dan Golongan Sosial
Berangkat dari pendapat
Koentjaraningrat yang menjelaskan bahwa kategori sosial dan golongan sosial
merupakan konsep dual hal yang berbeda walaupun dalam buku pelajaran
Antropologi dan Sosiologi dalam bahasa asing biasanya hal tersebut dikenal
dengan istilah yang sama, yakni Social Category. Namun, karena adanya
terdapat unsur perbedaaan maka dengan itu kita perlu membedakan dua konsep
tersebut. Dalam hal itu dapat diibaratkan dua konsep tersebut memiliki makna
“serupa tapi tak sama”, begitulah juga pada konsep tersebut memilki pengertian
yang berbeda walaupun terdapat kemiripan.
Dalam hal kategori sosial dijelaskan
bahwa konsep ini merupakan kesatuan manusia yang terwujud karena adanya suatu
ciri khas atau suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan kepada
manusia-manusia itu. Ciri khas tersebut dilakukan dengan maksud untuk
memudahkan penggolongan dalam suatu tujuan dan biasanya dikenakan oleh pihak
luar tanpa disadari oleh pihak yang bersangkutan. Sebut saja peneliti yang akan
melakukan penelitian terhadap kehidupan masyarakat tertentu perlu melakukan
penggolongan unuk memudahkan penelitian mereka, walupun pihak yang diteliti
tidak menyadari hal tersebut.
Sehubungan dengan itu untuk
mempermudah pemahaman kita mengenai kategori sosial tersebut dapat kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari dimana terdapat kategori orang yang memiliki sepeda
motor dan kategori orang tidak memilikinya dengan tujuan untuk menentukan harus
menaati peraturan lalu-lintas dan bebas dari peraturan tersebut, terdapat
katagori mahasiswa yang memiliki banyak buku bacaan dan kategori Mahasiswa yang
sedikit memiliki buku bacaan dengan maksud untuk menentukan minat belajar, dan
juga terdapat kategori orang bisa bermain Sepak bola dan kategori tidak bisa
bermain dengan maksud untuk mengetahui minat olah raga sepak bola. Dari uraian
tersebut dapatlah dikatakan bahwa unsur yang terkait dengan konsep kategori
sosial biasanya tidak terikat dengan kesatuan adat, sistem norma, tidak
mempunyai lokasi dan mengarah pada pembicaraan “kerumunan”.
Selanjutnya golongan sosial
dijelaskan merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri
tertentu, bahkan sering kali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak
luar kalangan masyarakat sendiri. Dalam konsep ini dapatlah kita umpamakan
dimana dalam golongan masyarakat Prasejarah sudah mengenal adanya penggolongan
sosial masyarakatnya, diantaranya terdapat golongan pemimpin suku dan adanya
pembagian golongan kerja di dalam kehidupan mereka tersebut. Disamping itu juga
terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan sistem kasta, yakni kasta Brahmana
(pemuka agama), Ksatria (bangsawan), Waisya (pedagang), Sudra (rakyat jelata),
dan Paria (gelendangan, peminta dan sebagainya).
Di dalam konsep golongan sosial
tersebut didasarkan terjadi dengan sendirinya dan terjadi dengan sengaja.
Terjadi dengan sendirinya dapat dipahami bahwa proses ini berjalan dengan
sendirinya dan bentuk dasar penggolongan itu bervariasi menurut lokasi, waktu
dan budaya masyarakat dimana sistem itu berlaku. Sedangkan golongan sosial yang
terjadi dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama, sistem
penggolongan ini dapat kita lihat dalam pemerintahan, parpol, perusahaan besar
dan sebagainya. Dengan lain perkataan konsep golongan sosial biasanya terikat
dengan kesatuan adat, norma, identitas sosial dan bersifat berkelanjutan.
Dengan demikian konsep kategori sosial dan golongan
sosial memiliki pengertian konsep yang berbeda, pada konsep kategori sosial
mengarah pada suatu “kerumunan” sebaliknya golongan sosial mempunyai ikatan
identitas sosial. Namun, kedua konsep tersebut memiliki perbedaan tapi perlu
digaris bawahi konsep tersebut sama-sama tidak memenuhi syarat yang disebut
masyarakat seutuhnya. Dikatakan tidak memenuhi syarat sebagai masyarakat karena
ada suatu syarat pengikat yang tidak ada pada kedudukannya, yakni prasarana
khusus untuk melakukan interaksi sosial.
Interaksi Sosial sebagai Faktor
Utama dalam Kehidupan Sosial
Hubungan antar manusia, ataupun
relasi-relasi sosial menentukan struktur dari masyarakatnya. Hubungan antar
manusia atau relasi-relasi sosial ini di dasarkan kepada komunikasi. Karenanya
Komunikasi merupakan dasar dari existensi suatu masyarakat. Hubungan antar
manusia atau relasi-relasi sosial, hubungan satu dengan yang lain warga-warga
suatu masyarakat, baik dalam bentuk individu atau perorangan maupun dengan
kelompok-kelompok dan antar kelompok manusia itu sendiri, mewujudkan segi
dinamikanya perubahan dan perkembangan masyarakat. Apabila kita lihat
komunikasi ataupun hubungan tersebut sebelum mempunyai bentukbentuknya yang
konkrit, yang sesuai dengan nilai-nilai sosial di dalam suatu masyarakat, ia
mengalami suatu proses terlebih dahulu. Proses-proses inilah yang dimaksudkan
dan disebut sebagai proses sosial.
Sehingga Gillin & Gillin mengatakan
bahwa: Proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat
apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan
menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut, atau apa yang akan
terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara
hidup yang telah ada. Dilihat dari sudut inilah, komunikasi itu dapat di
Pandang sebagai sistem dalam suatu masyarakat, maupun sebagai proses sosial.
Dalam komunikasi, manusia saling pengaruh-mempengaruhi timbal balik sehingga
terbentuklah pengalaman ataupun pengetahuan tentang pengalaman masing-masing
yang sama. Karenanya Komunikasi menjadi dasar daripada kehidupan sosial ia,
ataupun proses sosial tersebut.
Kesadaran dalam berkomunikasi di antara warga-warga suatu masyarakat, menyebabkan suatu masyarakat dapat dipertahankan sebagai suatu kesatuan. Karenanya pula dalam setiap masyarakat terbentuk apa yang di namakan suatu sistem komunikasi. Sistem ini terdiri dari lambang-lambang yang diberi arti dan karenanya mempunyai arti-arti khusus oleh setiap masyarakat. Karena kelangsungan kesatuannya dengan jalan komunikasi itu, setiap masyarakat dapat. membentuk kebudayaannya, berdasarkan sistem komunikasinya masing-masing.
Kesadaran dalam berkomunikasi di antara warga-warga suatu masyarakat, menyebabkan suatu masyarakat dapat dipertahankan sebagai suatu kesatuan. Karenanya pula dalam setiap masyarakat terbentuk apa yang di namakan suatu sistem komunikasi. Sistem ini terdiri dari lambang-lambang yang diberi arti dan karenanya mempunyai arti-arti khusus oleh setiap masyarakat. Karena kelangsungan kesatuannya dengan jalan komunikasi itu, setiap masyarakat dapat. membentuk kebudayaannya, berdasarkan sistem komunikasinya masing-masing.
Dalam masyarakat yang modern, arti komunikasi menjadi lebih penting lagi, karena pada umumnya masyarakat yang modern bentuknya makin bertarnbah rasionil dan lebih di dasarkan pada lambang-lambang yang makin abstrak. Bentuk umum proses-proses sosial adalah interaksi sosial, dan karena bentuk-bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dairi interaksi, maka interaksi sosial yang dapat dinamakan proses sosial itu sendiri. Interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Gillin dan Gillin mengajukan
dua syarat yang harus di penuhi agar suatu interaksi sosial itu mungkin
terjadi, yaitu:
- Adanya
kontak sosial (social contact)
- Adanya
komunikasi.
Dengan demikian kontak merupakan
tahap pertama terjadinya suatu interaksi sosial. Dapat di katakan bahwa urituk
terjadinya suatu kontak, tidak perlu harus terjadi secara badaniah seperti arti
semula kata kontak itu sendiri yang secara harfiah berarti “bersama-sama
menyentuh”. Manusia sebagai individu dapat mengadakan kontak tanpa
menyentuhnya tetapi sebagai makhluk sensoris dapat melakukannya dengan
berkomunikasi. Komunikasi sosial ataupun “face-to face” communication, interpersonal
communication, juga yang melalui media. Apalagi kemajuan teknologi komunikasi
telah demikian pesatnya.
Kontak
sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu tidak hanya antara
individu dan individu sebagai bentuk pertamanya saja, tetapi juga dalam
bentuk kedua, antara individu dan suatu kelompok manusia atau
sebaliknya. Bentuk ketiga, antara sesuatu kelompok mKesehatan
Ibu Dan Anak
SKRT 1994 menunjukkan hahwa MMR sebesar 400 – 450 per 100.000 persalinan. Selain angka kematian, masalah kesehatan ibu dan anak juga menyangkut angka kesakitan atau morbiditas. Penyakit-penyakit tertentu seperti ISPA, diare dan tetanus yang sering diderita oleh bayi dan anak acap kali berakhir dengan kematian. Demikian pula dengan peryakit-penyakit yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah persalinan.
Program-program pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan pada penanggulangan masalah-masalah kesehatan ibu dan anak. Pada dasarnya program-program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu. Hal ini terbukti dari hasil-hasil survei yang menunjukkan penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar. Namun tidak demikian halnya dengan angka kematian ibu (MMR) yang selama dua dekade ini tidak menunjukkan penurunan yang berarti.
Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di
dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor
kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai
pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan
dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan,
seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu
dan anak. Pola makan, misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu
selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa
setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan
anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap
beberapa makanan tertentu.
B.
Kesehatan Anak
Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan bayi adalah makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat
ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan jenis-jenis makanan
yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu
rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi-situasi
tertentu. Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan
untuk mengkonsumsi makanan tertentu; ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah
berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik
daripada anggota keluarga yang lain; atau anak laki-laki diberi makan lebih
dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi
ataupun kebiasaan,namun yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan
mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu; dengan kata lain ibu
mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa
melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola
pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern.
Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen ataupun medis
dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan
padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun, pada suku Sasak di
Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah
dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan
kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang
terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada
usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan
lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan
ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir
sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang
pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini
dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena
warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa
colostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara,
colostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan
merupakan permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya
ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak
sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan
dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga
kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi
si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada
masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam,
ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang
menyusui untuk memakan telur. Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala
yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi “panas-dingin” yang dapat
mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah, udara, api
dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin
maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur
tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau menjalani pengobatan
yang bersifat lebih “dingin” atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu
yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan “dingin” sehingga
ia harus memakan makanan yang “panas” dan menghindari makanan yang “dingin”.
Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang sedang hamil (Reddy, 1990).
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistemteori penyakit lebih menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit. Sementara, sistem perawatan penyakit merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu personalistik dan naturalistik. Penyakit-penyakit yang dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam golongan naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain.
Dari sudut pandang sistem medis moderen adanya persepsi
masyarakat yang berbeda terhadap penyakit seringkali menimbulkan permasalahan.
Sebagai contoh ada masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang
mengalami kejang- kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun
yang dapat menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh
demam yang tinggi, atau adanya radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan
cara yang tepat dapat menimbulkan kematian. Kepercayaan-kepercayaan lain
terhadap demam dan diare pada bayi adalah karena bayi tersebut bertambah
kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada pula yang menganggap bahwa diare
yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh udara,
yang sering dikenal dengan istilah “masuk angin”. Karena persepsi terhadap
penyebab penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya,
di suatu daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan karena “masuk angin” yang
dipersepsikan sebagai “mendinginnya” badan anak maka perlu diobati dengan
bawang merah karena dapat memanaskan badan si anak. Sesungguhnya pola pemberian
makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit merupakan
bagian dari sistem perawaatan kesehatanumum dalam masyarakat (Klienman, 1980).
Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat unsur-unsur
pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini terlihat bila
ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga lain akan
melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah itu
dengan menggunakan obat tradisional ataupun obat moderen. Tindakan pemberian
obat ini merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan dalam upaya
mengobati penykit dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari penyembuhan
atau kesehatan yang dikenal sebagai “health seeking behavior”. Jika upaya ini
tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas kesehatan
seperti dokter, mantri dan lain-lain.
C.
Kesehatan Ibu.
permasalahan utama
yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah
masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan.
Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe
Motherhood yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita
terutama paada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketikapersalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Pacta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan
kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang
sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Pada penelitian yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132 ibu yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pacta saat melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dari data SKRT 1986 terlihat bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%, dan angka menurun dengan adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada tahun 1995. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis
bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir
dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam
proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan
penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan,
kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan
gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai
dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data
Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan
ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan
mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang
dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa
tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti “ngolesi” (membasahi
vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), “kodok”
(memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau
“nyanda” (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki
diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan
pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada
dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat,
biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan
dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu
juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun
sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional
tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan
kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian
atau bertahan hidup. Secara medis, . penyebab klasik kematian ibu akibat
melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan).
Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional
dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini
sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga
karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya,
terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan
dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada
di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang
terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat
persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat.
Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga
mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat
oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan
kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala
ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan
biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan,
faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan
disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat
bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
D.
Kebijakan pembangunan KIA.
Uraian
sebelumnya telah memperlihatkan bahwa dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan ibu dan anak melalui program-program pembangunan kesehatan perlu
memperhatikan aspek-aspek sosial-budaya masyarakat. Menempatkan petugas
kesehatan dan membangun fasilitas kesehatan semata tidaklah cukup untuk
mengatasi masalah-masalah KIA di suatu daerah. Seperti diketahui ternyataperilaku-perilaku
kesehatan di masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan kesehatan banyak
sekali dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.
Pada dasarnya, peran kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Memang tidak semua praktek/perilaku masyaiakat yang pada awalnya bertujuan untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan praktek yang sesuai dengan ketentuan medis/kesehatan. Apalagi kalau persepsi tentang kesehatan ataupun penyebab sakit sudah berbeda sekali dengan konsep medis, tentunya upaya mengatasinya juga berbeda disesuaikan dengan keyakinan ataupun kepercayaan-kepercayaan yang sudah dianut secara turun-temurun sehingga lebih banyak menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kesehatan. Dan untuk merubah perilaku ini sangat membutuhkan waktu dan cara yang strategis. Dengan alasan ini pula dalam hal penempatan petugas kesehatan dimana selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat juga berfungsi sebagai agen perubah (change agent) maka pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi dari petugas kesehatan sangat diperlukan disamping kemampuan dan ketrampilan memberi pelayanan kesehatan.
Mengingat bahwa dari indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat kesehatan ibu dan anak masih perlu diingkatkan, maka dalam upaya perbaikannya perlu pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara holistik dan integratif yang tidak hanya terbatas pada bidang kesehatan secara medis saja tetapi juga ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Dalam hal melakukan upaya-upaya perbaikan perlu disadari bahwa hubungan ibu dan anak sangat erat dimana kondisi kesehatan ibu akan dapat secara langsung mempengaruhi kondisi kesehatan anaknya, baik mulai dari kandungan maupun setelah persalinan. Oleh karena itu, penting sekali menempatkan konteks reproduksi dalam program KIA sehingga diharapkan kondisi kesehatan seseorang benar-benar dapat terpelihara sesuai dengan konsep medis yang tepat sejak ia berada dalam kandungan, masa kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar